SENI DAN BUDAYA TUBAN
Seni tari masih tetap eksis di daerah Tuban sebagai seni pergaulan sampai
sekarang. Karena warga, terutama kalangan pria dewasa maupun orangtua, masih
sangat menggandrungi para penari.
Kesenian Sandur adalah tradisi untuk mengungkapkan rasa kegembiraan
setelah musim panen. Kesenian ini diawali dengan tari-tarian yang dibawakan
oleh empat peraga laki-laki yang disebut Cawik, Pethak, Balong dan Tansil.
Puncak acara ini dilakukan pada tengah malam dengan atraksi kalongking yaitu seorang pemain berjalan di atas tambang dengan ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan tanah, kedua ujung tambang diikat pada batang bambu yang di tancap di tengah-tengah lapangan. Ketika berada di tengah tambang pelaku kalongking langsung melakukan tapa kalong dengan posisi kepala di bawah dengan kaki mengait tambang.
Puncak acara ini dilakukan pada tengah malam dengan atraksi kalongking yaitu seorang pemain berjalan di atas tambang dengan ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan tanah, kedua ujung tambang diikat pada batang bambu yang di tancap di tengah-tengah lapangan. Ketika berada di tengah tambang pelaku kalongking langsung melakukan tapa kalong dengan posisi kepala di bawah dengan kaki mengait tambang.
Kesenian
Sandur adalah sebetulnya kesenian sandur telah lama dikenal di
Tuban Dalam catatan sejarah seni tradisi, Kesenian Sandur pernah mengalami
zaman keemasan.Pementasan kesenian Sandur digelar hampir di setiap pelosok di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan zaman,
terutama munculnya bentuk-bentuk kesenian modern yang lebih atraktif, maka
kesenian Sandur pun ikut tergusur bahkan mungkin untuk generasi muda Tuban
banyak yang tidak mengenal apalagi pernah menyaksikan kesenian sandur ini.
Tidak
seperti zaman jayanya dulu, pementasan kesenian Sandur kini sudah sulit
dijumpai. Satu-satunya desa di Tuban mungkin di Indonesia yang masih
mempertahan Kesenian Sandur hanya dusun Randu Pokak( Bektiharjo Kec Semanding
Tuban).
Sandur
Kalongking ini terbilang sederhana namun menyita waktu cukup lama, sekitar 9
jam dari pukul 20.00 hingga jam 4 pagi sehingga disinilah kaum muda kurang
berminat dalam kesenian ini. Namun hal ini kelihatannya tidak menjadi masalah
buat masyarakat Randu Pokak yang haus akan hiburan..
Kesenian
Tayub
Tayub
merupakan salah satu kesenian tradisional Tuban dan merupakan peninggalan dari
budaya leluhur yang telah memasyarakat secara turun menurun. Penari Tayub
biasanya terdiri dari 2 orang sampai dengan belasan penari.
Para penonton dapat ikut serta menari bersama dengan penari Tayub. Acara akan semakin ramai dan hangat ketika penari Tayub yang disebut sindir menyanyikan gending-gending (lagu) yang sedang in dan digemari oleh penonton, sehingga akan banyak penonton yang turut serta menari dengan gerakan tari yang mereka bisa lakukan.
Sindir biasanya selalu memenuhi keinginan penonton dengan melantunkan lagu yang diminta. Tarian ini biasanya diselenggarakan untuk memeriahkan acara perrnikahan, khitanan, atau acara keluarga lainnya. Acara berlangung selama sehari atau bahkan sampai dua hari, tergantung pesanan dari penyewa tarian tersebut
Para penonton dapat ikut serta menari bersama dengan penari Tayub. Acara akan semakin ramai dan hangat ketika penari Tayub yang disebut sindir menyanyikan gending-gending (lagu) yang sedang in dan digemari oleh penonton, sehingga akan banyak penonton yang turut serta menari dengan gerakan tari yang mereka bisa lakukan.
Sindir biasanya selalu memenuhi keinginan penonton dengan melantunkan lagu yang diminta. Tarian ini biasanya diselenggarakan untuk memeriahkan acara perrnikahan, khitanan, atau acara keluarga lainnya. Acara berlangung selama sehari atau bahkan sampai dua hari, tergantung pesanan dari penyewa tarian tersebut
BATIK GEDOG
BATIK
gedog tidak bisa dilepaskan dari sejarah Tuban. Batik ini kali pertama dibawa
langsung Laksamana Cheng Ho dari China (kini Tiongkok) pada masa pemerintahan
Majapahit. Nuansa China dari batik ini sangat melekat. Itu terlihat dari gambar
burung Hong yang menjadi kekhasan batik tersebut.
Setelah
masuk Tuban, batik ini diadopsi Ki Jontro, pengikut Ronggolawe. Saat Ronggolawe
memberontak Majapahit, dia dan pengikutnya bersembunyi di hutan. Dalam
persembunyian itulah, Jontro yang kemudian namanya dipakai nama alat tenun
tradisional membuat pakaian untuk pasukannya. Semula, pakaian dari kain tenun
tersebut bermotif garis-garis sesuai alur benang. Namun, setelah terpengaruh
batik Lokcan dari Laksamana Cheng Ho, kain tenunnya dibatik seperti batik
tersebut. Nama gedog kemudian diambil dari bunyi proses penenunan yang berbunyi
gedog.
Di zaman Sunan
Bonang, batik ini juga dipakai oleh pengikutnya. Kini, sebagian batik
peninggalan pengikut Sunan Bonang itu disimpan di museum Kambang Putih
Mantap bos....
BalasHapusMampir juga di
https://alamraya-street.blogspot.com